Pendidikan Pancasila
Mohammad
Abduhzen ; Direktur Eksekutif Institute for Education Reform Universitas Paramadina, Jakarta; Ketua Litbang PB PGRI
KOMPAS, 26 April 2013
Rancangan
Kurikulum 2013 mengembalikan Pancasila seperti Kurikulum 1994, yaitu
sebagai mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan.
Keberadaan
Pancasila dalam kurikulum senantiasa timbul tenggelam, bergantung pada
situasi kebangsaan. Pada Kurikulum 1968, di awal Orde Baru, Pancasila
menjadi kategori pertama bidang pembelajaran ”Pembinaan Jiwa Pancasila”
yang terdiri atas pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, bahasa
Indonesia, bahasa daerah, dan pendidikan olahraga.
Kurikulum
1975—seiring menguatnya dominasi Orde Baru—menjadikan Pancasila sebagai
mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP). Kurikulum ini
disempurnakan pada 1984 dengan menambahkan Pendidikan Sejarah
Perjuangan Bangsa (PSPB), di samping PMP dan Sejarah. Tumpang tindih
pelajaran ini kemudian disederhanakan dalam Kurikulum 1994 dengan
menyatukan PMP dan PSPB jadi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
(PPKn).
Ketika
Reformasi tiba, Pancasila yang lama menjadi alat legitimasi turut
mengalami deapresiasi sehingga UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional tak mewajibkan Pancasila ada dalam kurikulum
pendidikan. Karena itu, dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK, 2004)
dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP, 2006), Pancasila raib dan
PPKn menjadi Pendidikan Kewarganegaraan (PKn).
Kevakuman
Proses
ideologisasi Pancasila semasa Orde Baru dengan tafsir dan asas
tunggalnya telah memaksa mayoritas masyarakat Indonesia berideologikan
Pancasila secara semu.
Praktik represif dan doktrinal yang ditempuh justru menimbulkan sinisme
terhadap Pancasila sebagai personifikasi penguasa. Maka, saat Orba
jatuh, Pancasila seperti ikut melindap.
Sekarang,
Pancasila mengalami kekosongan makna karena pemaknaan oleh Orde Baru
berupa Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) beserta 36
butir nilai-nilai seolah gosong. Kita perlu rekonstruksi tafsir yang
mampu menerangkan bagaimana berbagai gagasan dalam Pancasila saling
berhubungan dan mampu mengantarkan bangsa ini pada kehidupan lebih baik,
seperti janji kemerdekaan.
Pada
hari-hari ini, kita juga tak menyaksikan adanya upaya internalisasi
nilai-nilai Pancasila dan kebangsaan secara mendasar dan sistemis.
Memang ada upaya sosialisasi ”Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan
Bernegara”, tetapi—selain Pancasila sebagai pilar dipersoalkan—hanya
sayup-sayup sampai kepada publik. Barangkali kita tinggal mengandalkan
kecakapan para guru mengajarkan Pancasila di sekolah. Itu pun, sekarang
ini, Pancasila diajarkan sebatas dasar administrasi negara.
Menguatnya
semangat aliran belakangan ini di ranah politik dan sosial merupakan
indikator kian lemahnya apresiasi masyarakat terhadap Pancasila sebagai
landasan hidup bersama. Kenyataan ini tak boleh dibiarkan, dan
seyogianya pemerintah serius merevitalisasi Pancasila.
”Mengilmiahkan” Pancasila
Butir
penting untuk reaktualisasi yakni merumuskan konstelasi pembelajaran
dan transformasi nilai-nilai Pancasila dalam proses pendidikan.
Sebagai
substansi pembelajaran, Pancasila selama ini dikenalkan lebih sebagai
mitos ketimbang sesuatu yang ilmiah. Keberadaan Pancasila seperti tak
melekat dalam kesadaran dan hanya muncul sebagai perilaku artifisial.
Agar mengejawantah sebagai perilaku otentik, Pancasila harus diakarkan
di dalam pikiran dan ditumbuhkan sebagai sikap di dalam jiwa.
Karena
itu, Pancasila perlu ”diilmiahkan” dengan mengobyektivikasi makna-makna
normatif dan simbolisnya secara logis-empiris. Pembahasan Pancasila
harus mampu mengantarkan kita kepada situasi logika dan fakta yang tak
terelakkan sehingga pilihannya harus diterima.
Pancasila,
sebagaimana dinyatakan penggagasnya, adalah philosofische grondslag
atau weltanschauung, yaitu fundamen, filsafat, dan pikiran yang
mendalam. Pancasila lahir sebagai antitesis imperialisme dengan ide-ide
besar seperti ”penjajahan di atas dunia harus dihapuskan”,
kebinekaan/pluralisme,
musyawarah, dan ketuhanan yang harus dijadikan realiteit.
Merealisasikan
Pancasila sebagai landasan kehidupan bersama, yang dibutuhkan di alam
modern ini, memerlukan argumen yang tak sekadar common sense, akal
sehat. Setakat ini status epistemologis Pancasila baru sebatas deskripsi
tentang realitas dan cita-cita. Ini tergambar dari pidato Soekarno
tentang sila Ketuhanan: ”bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, tetapi
masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan.”
Pembahasan
Pancasila tidak cukup dan berhenti sebatas konsep-konsep universal,
tetapi harus berlanjut ke tataran operasional dan kontekstual
berdasarkan situasi, kebutuhan, dan pengalaman kebangsaan kita sendiri.
Ibarat pohon, Pancasila tunduk pada hukum pertumbuhan universal, tetapi
sejatinya ia tetumbuhan tropis.
Reinterpretasi
untuk reaktualisasi Pancasila telah dimulai Yudi Latif dengan karyanya
Negara Paripurna, Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila
(2010). Yudi mengobyektivikasi Pancasila dengan fakta historis dan
pendekatan teoritis-komparatif, disusul gagasan rasional bagaimana sila
demi sila seharusnya diaktualkan.
Pendidikan,
tafsir, dan pemikiran tentang Pancasila perlu dikemas sedemikian rupa
agar menjadi nilai-nilai kepribadian (kompetensi) lulusan.
Problem Metodologi
Selain
persoalan substansi, pembelajaran Pancasila di sekolah sering kali
terkendala faktor metodologi. Pada satu sisi disampaikan terlampau
akademis—diajarkan hanya sebagai fakta pengetahuan—dan pada sisi lain
terlewat ideologis (memaksakan nilai-nilai sebagai doktrin).
Pembelajaran
harus menjadi upaya penyadaran pentingnya nilai-nilai Pancasila bagi
kehidupan bersama sebagai bangsa. Metode ini seharusnya dapat diturunkan
dari UU No 20 Tahun 2003 Pasal 1 Ayat (1) yang menekankan pentingnya
penciptaan suasana dan proses pembelajaran, keaktifan, dan berpusat pada
murid. Sayangnya, rancangan Kurikulum 2013 tak mengelaborasi metode
pembelajaran secara utuh dan menyeluruh. Elemen perubahan terkait proses
pembelajaran hanya menambahkan kata teknis: ”mengamati, menanya, dan
mengolah”. Sementara pendekatan tematik-integratif dikhususkan untuk SD
karena sebelumnya pelajaran IPA akan diintegrasikan di semua kelas SD.
Pendidikan
Pancasila mendatang potensial mengalami disorientasi karena ada reduksi
dan kesenjangan logika pada kompetensi kurikulum. Kompetensi inti
sebagai sublimasi perolehan dari seluruh mata pelajaran
mengerutkan fungsi pendidikan hanya dalam empat kategori yang rancu,
yakni sikap keagamaan, sikap sosial, pegetahuan, dan penerapan
pengetahuan.
Sebagai
tujuan akhir pembelajaran, kompetensi inti, selain tampak begitu
miskin, juga menimbulkan masalah tautan logis dengan kompetensi dasar
dan sesi-sesi pembelajaran, terlebih untuk Pendidikan Pancasila.
Menyaksikan situasi kebangsaan yang kian mengkhawatirkan akhir-akhir
ini, perumusan Pendidikan Pancasila harus berspektrum luas dan menjadi
bagian dari strategi nation building. ●