PERATURAN Pemerintah tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) baru saja
ditandatangani Presiden dan 15 anggota Badan Standar Nasional
Pendidikan (BSNP) yang ditugasi mengimplementasikan PP SNP tersebut baru
saja dikukuhkan oleh Menteri Pendidikan Nasional. Dua peristiwa di atas
mungkin memperlihatkan niat pemerintah memperbaiki dunia pendidikan
melalui peraturan tentang standardisasi pendidikan secara nasional dan
pembentukan badan yang mengatur standar nasional tersebut.
Namun,
sayangnya, peraturan yang terlihat tergesa-gesa ditandatangani oleh
presiden itu memperlihatkan beberapa kejanggalan. Ini memperkuat dugaan
bahwa Peraturan Pemerintah (PP) tentang Standar Nasional Pendidikan
(SNP) memang dibuat untuk mengejar target "proyek" ujian nasional yang
selama ini mendapat banyak kritikan dari masyarakat, praktisi dan pakar
pendidikan, serta dinilai melanggar Undang-Undang (UU) Sistem Pendidikan
Nasional (Sisdiknas) oleh Komisi X DPR. Kejanggalan pun terutama
terlihat pada pasal-pasal yang mengatur tentang penilaian hasil belajar,
Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), dan tentang ujian nasional.
KEJANGGALAN
pertama PP SNP terlihat pada Pasal 63 Ayat (1). Pasal ini memberikan
kewenangan kepada pemerintah untuk melakukan penilaian hasil belajar
peserta didik selain kewenangan yang dimiliki oleh pendidik dan satuan
pendidikan. Pasal ini jelas memperlihatkan bentuk intervensi pemerintah
yang paling dalam terhadap otonomi pedagogis pendidik/guru, sekaligus
bertentangan dengan semangat Pasal 58 Ayat (1) UU Sisdiknas yang
memberikan kewenangan penuh kepada pendidik untuk menilai seluruh proses
pembelajaran peserta didik; mulai dari awal hingga akhir penentuan
kelulusannya.
Keikutsertaan pemerintah, pemerintah daerah,
dan lembaga mandiri dalam melakukan evaluasi-sebagaimana tercantum pada
Pasal 58 Ayat (2) dan Pasal 59 Ayat (1) UU Sisdiknas-adalah evaluasi
terhadap pengelola, satuan, jalur, jenjang, jenis pendidikan dan program
pendidikan. Kalaupun ada kewenangan mengevaluasi peserta didik, tentu
yang dimaksud bukanlah terhadap hasil belajar dan kelulusannya,
melainkan evaluasi terhadap kondisi peserta didik yang dapat mendukung
terlaksananya proses pembelajaran. Taruhlah seperti rasio peserta didik
terhadap guru, pemetaan sosial-ekonomi, dan kesehatan peserta didik,
termasuk disparitas peserta didik antar-individu, kelompok dan
antarwilayah/daerah. Dengan begitu, hak mutlak untuk menilai proses
pembelajaran dan menentukan kelulusan peserta didiknya tetap menjadi
milik pendidik karena secara pedagogis para pendidiklah yang paling tahu
tentang peserta didiknya.
Kejanggalan kedua adalah hilangnya
kata independen pada Pasal 73 Ayat (3) tentang sifat BSNP. Bunyi
lengkapnya: "Dalam menjalankan tugas dan fungsinya BSNP bersifat mandiri
dan profesional". Pasal inilah yang dijadikan alasan mengapa BSNP tidak
sepenuhnya independen, tetapi hanya sebagai pembantu menteri seperti
tertera pada Pasal 76 Ayat (1).
Kedua pasal di atas sepintas
terlihat wajar. Tetapi, menjadi sangat janggal ketika pasal tersebut
secara tertib hukum seharusnya menjadi turunan dari ketentuan umum Pasal
1 Butir 22 yang secara tegas menyebutkan bahwa BSNP adalah badan yang
mandiri dan independen. Bunyi lengkapnya: "Badan Standar Nasional yang
selanjutnya disebut BSNP adalah badan mandiri dan independen yang
bertugas mengembangkan, memantau pelaksanaan, dan mengevaluasi standar
nasional pendidikan".
Sebenarnya, kalau kita baca bahan
sosialisasi RPP SNP yang dikeluarkan Departemen Pendidikan Nasional
(Depdiknas) tanggal 31 Desember 2004, BSNP masih disebut sebagai badan
independen seperti tercantum pada Pasal 51 Ayat (5) bahan sosialisasi.
Bunyi lengkapnya: "Dalam menjalankan fungsinya sebagaimana dimaksud pada
ayat (3), BSNP mandiri dan independen terhadap Menteri". Pasal ini
sudah menunjukkan kemajuan berpikir. Tetapi, sayangnya, pada bahan RPP
SNP revisi tanggal 23 April 2005 bunyinya berubah menjadi seperti yang
tertera dalam Pasal 73 Ayat (3) PP SNP.
Dari perubahan itu
terkesan rekayasa "memandulkan" independensi BSNP. Sayangnya. kerja
"kejar target" itu menyebabkan tim penyusun menjadi tidak jeli sehingga
menimbulkan kejanggalan signifikan dalam tata urut dan substansi hukum
PP SNP antara yang termuat dalam Pasal 1 Butir 22 ketentuan umum dan
Pasal 73 sampai Pasal 77 sebagai turunannya. Karena ketentuan umum
merupakan klausul pokok yang turunannya tertuang dalam pasal-pasal,
konsekuensinya BSNP seharusnya adalah badan independen! Terlalu boros
jika akhirnya BSNP hanya berfungsi sebagai birokrasi baru yang hanya
bertugas sebagai "tukang stempel" dan kepanjangan tangan Mendiknas.
Kejanggalan
ketiga terlihat pada kewenangan BSNP untuk menyelenggarakan ujian
nasional seperti tertera pada Pasal 76 Ayat (3) b. Pasal ini jelas
dijadikan landasan hukum bagi pemerintah untuk melegitimasi
penyelenggaraan ujian nasional yang telah memasuki waktu pelaksanaannya.
Apalagi dengan memasukkan klausul "belut" dalam ketentuan peralihan
Pasal 94 Butir e yang menyebutkan bahwa: "Penyelenggaraan ujian nasional
dilaksanakan oleh pemerintah sebelum BSNP menjalankan tugas dan
wewenangnya berdasarkan peraturan ini", maka sempurnalah sudah
legitimasi pemerintah untuk terus mengurusi hasil belajar anak karena
BSNP yang baru dibentuk tentu tidak dapat menyelenggarakan ujian yang
sudah memasuki waktu pelaksanaannya.
Persoalannya sekarang
apakah secara konstitusi BSNP memang berwenang menyelenggarakan ujian
nasional? Jika BSNP tetap menyelenggarakan ujian nasional, maka
pertanyaan mendasar yang kita ajukan adalah logiskah sebuah badan yang
bertugas melakukan pemantauan terhadap suatu kegiatan sekaligus menjadi
pemain dari kegiatan yang dipantaunya?
Kejanggalan keempat
adalah tentang kelulusan. Pasal 72 Ayat (1) d menyebutkan bahwa peserta
didik dinyatakan lulus dari satuan pendidikan pada pendidikan dasar dan
menengah setelah memenuhi empat persyaratan. Pertama, telah
menyelesaikan seluruh program pembelajaran. Kedua, memperoleh nilai
minimal untuk pelajaran agama, akhlak mulia, kewarganegaraan dan
kepribadian, estetika, jasmani dan kesehatan. Ketiga dan keempat lulus
ujian sekolah dan lulus ujian nasional.
Syarat kelulusan
pertama dan kedua sepintas mencoba untuk menghargai penilaian proses.
Namun, ketika peserta didik harus dihadapkan pada syarat lulus ujian
sekolah dan ujian nasional, maka pada akhirnya proses pembelajaran
menjadi tidak lagi berarti. Sebab, seperti yang terlihat pada kenyataan
sehari-hari, di banyak sekolah semua kegiatan pembelajaran tercurah
hanya untuk mempelajari cara menyiasati soal-soal ujian semata.
Akhirnya, proses pembelajaran menjadi kering dari suasana kemanusiaan.
Padahal,
kalau kita tengok standar kompetensi lulusan seperti yang tertera dalam
Pasal 26 PP SNP, maka angka-angka patokan kelulusan selama ini seperti
3,01; 4,01; dan 4,26 sama sekali tidak mencerminkan standar kompetensi
lulusan tersebut. Contohnya Pasal 26 Ayat (2) berbunyi: "Standar
kompetensi lulusan pada satuan pendidikan menengah umum bertujuan untuk
meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta
keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut".
Penjelasan
Pasal 35 Ayat (1) UU Sisdiknas juga menetapkan kompetensi lulusan yang
komprehensif, yaitu merupakan kualifikasi kemampuan lulusan yang
mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Patokan angka-angka
kelulusan jelas hanya gambaran aspek pengetahuan (kognitif) semata.
Tidak mengandung makna kecerdasan apalagi akhlak mulia.
TAMPAKNYA
masih banyak persoalan lain yang mengganjal dengan PP SNP, seperti
problem kategorisasi sekolah formal standar dan mandiri yang dapat
menjerumuskan masyarakat terkotak-kotak ke dalam lingkup sekolah kaya
dan sekolah miskin, lalu mengapa PP SNP bersikap diskriminatif dalam
memberikan otonomi pedagogis kepada pendidik di satuan pendidikan dasar
dan menengah dengan di perguruan tinggi? Mengapa pula Bab X tentang
penilaian tidak diintegrasikan dengan Bab XII tentang evaluasi, padahal
penilaian hasil belajar di dalam UU Sisdiknas menjadi satu kesatuan
dengan bab evaluasi?
Akhirnya, ketika beberapa anggota BSNP
ditanyai oleh para wartawan tentang seleksi yang dilaluinya sampai
terpilih menjadi anggota BSNP, semua mengakui hanya dihubungi melalui
telepon oleh pihak Depdiknas tanpa melalui seleksi. Tanpa mengurangi
kapasitas dan kompetensi para anggota BSNP terpilih, pertanyaannya yang
perlu kita ajukan kepada Mendiknas adalah bagaimana mungkin memilih
keanggotaan sebuah badan yang memiliki kewenangan menentukan standar
nasional pendidikan yang merupakan cermin standardisasi untuk memajukan
bangsa kita ke depan dilakukan dengan cara-cara yang tidak berstandar
dan tanpa seleksi pula?
Kita berharap pemerintah membuka hati
untuk mengkaji ulang dan merevisi PP SNP yang telanjur menimbulkan
beberapa kejanggalan yang serius. Tentunya dengan mengakomodasi lebih
banyak lagi pendapat ahli, pedagog, dan kelompok-kelompok masyarakat
peduli pendidikan. Sangat kita sayangkan kalau sebuah peraturan
pemerintah yang langsung ditandatangani oleh Presiden harus menimbulkan
kejanggalan yang cukup signifikan!
Suparman
Sumber: Kompas
Suparman Sekretaris Eksekutif Federasi Guru Independen Indonesia, Koordinator Koalisi Pendidikan