Siswa Digital Natives Vs Guru Digital Immigrants

Setelah membaca Born Digital: Understanding the First Generation of Digital Natives tulisan John Palfrey dan Urs Gassers (2008), saya jadi tertarik nimbrung untuk mengomentari kata   "kesenjangan" yang melatarbelakangi lahirnya kurikulum 2013 (tulisan Mas Sumino). Kalau Prof. Susanto (Unesa) bilang kalau ada kesenjangan 'mengapa harus kurikulumnya yang diganti? Bukankah kelemahan pendidikan selama ini pada gurunya?". Guru itulah yang harus ditingkatkan kompetensinya terlebih dahulu.

       Dalam Born Digital dijelaskan anak yang lahir setelah tahun 1980 disebut Digital Natives (2008:1). Saya tidak tahu apa padan kata yang pas dalam Bahasa Indonesia untuk Digital Natives. Apa anak digital atau masyarakat digital? Yang jelas DN ini lahir dalam era tekhnologi digital. Kalau sekarang bisa dikatakan, bayi lahir saja sudah pegang HP. Coba kalau ayahnya tidak ditempat, sementara bayi itu perlu mendengar suara pertamanya dengan suara adzan. Tentu sarana yang tepat adalah HP.  Siswa sekarang adalah anak-anak digital  yang sudah luar biasa kemampuannya untuk menguasai IT karena mereka besar bersama pesatnya perkembangan IT.  

        Sementara disisi lain, guru-guru sekarang mayoritas adalah generasi yang lahir sebelum perkembangan teknologi sepesat sekarang. Belum ada social networks seperti Facebook,  Twitter dll. Mereka besar dalam era media cetak. Kirim surat perlu ke kantor pos dulu. Kalau mau cepat, pakai telegram. Mesin ketik masih manual.  Telepon interlokal harus ke kabupaten. Ketika ada perkembangan teknologi seperti sekarang ini, sikap guru ada yang bisa beradaptasi dengan mencoba menguasai teknologi pendidikan mutakhir dan ada juga yang tidak peduli (malas) belajar. Generasi (tua) yang baru  belajar  teknologi digital ini disebut Digital Immigrants (4). Masyarakat pendatang  dalam dunia digital.  Guru sekarang mayoritas adalah pendatang dalam dunia digital.  Kalau boleh jujur,  tahun berapa kita baru belajar  komputer. Belajar beremail. Belajar menggunakan powerpoint ketika mengajar.  Saya sendiri belajar bagaimana membuat email dan mengirim surat melalui email baru tahun 2005. Itu pun karena terpaksa. Kalau  British Council tidak memaksa lamaran kuliah singkat  ke Leeds University, UK, melalui email, belum tentu tahun itu saya belajar bagaimana menguasai ketrampilan ber-email dan berinternet.
       
        Kesenjangan tentu sangat besar dalam penguasaan IT  antara Digital Native students dengan Digital Immigrant teachers. Tetapi bisa dibayangkan pembelajaran (pada siswa DN) tanpa menggunakan computer dan internet di kelas akan menyebabkan kurang menariknya pembelajaran dan tidak maksimalnya informasi yang didapat siswa.  Saya berasumsi penggunaan Computer Assisted Learning Language dan Internet Based Language Learning sudah menjadi kebutuhan pokok bagi guru  sekarang, terutama di sekolah-sekolah yang sudah mempunyai akses internet dan fasilitas proyeksi LCD.  Dari sini saya melihat dan menyarankan: pertama,  guru  harus menguasai teknlogi pembelajaran untuk menyiapkan siswa agar mereka lebih siap dalam menghadapi dunia teknologi digital yang pasti akan mereka hadapi di kehidupan (pekerjaan) abad 21 ini. Kedua, perlunya calon guru dibekali penguasaan teknologi (media) pembelajaran berbasis computer dan internet. Karena saya melihat masih minimnya penguasaan guru-guru PPL  dan guru-guru muda terhadap media pembelajar mutakhir tersebut. Itu artinya kurikulum di LPTK (FKIP) selama ini masih belum melihat pentingnya siswa menguasai ketrampilan IT sebagai bekal hidup mereka di era digital seperti sekarang ini.  Pembelajaran di PT sendiri masih konvensional, karena dosennya juga Digital Immigrants yang malas untuk belajar. Ciyuss, bagaimana kalau seperti itu? (R. Chusnu Yuli Setyo)


Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...