komersialisasi televisi lahirkan ustad menghibur

Wawancara Jalaluddin Rakhmat
Lafadz Tuhan tiada henti ditasbihkan hampir setiap Ramadan, mulai dari
masjid hingga surau. Menganjurkan umat terus meningkatkan keimanan
dengan menambah jumlah dan kualitas ibadah. Belum lagi untaian selawat
dalam tiap jeda dari waktu sahur hingga berbuka.

Semarak Ramadan tidak berhenti dalam moncong-moncong pengeras suara.
Program Ramadan di televisi tidak kalah religius dari kehidupan nyata.
Mulai dari pengajian, obrolan singkat, sinetron, hingga komedi.

Berikut penuturan pakar komunikasi Jalaluddin Rakhmat mengenai acara
televisi sepanjang bulan puasa saat ditemui Islahuddin, Muhammad
Taufik, dan juru foto Imam Buhori dari merdeka.com di sekretariat
IJABI (Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia), Kemang, Jakarta Selatan,
Jumat (27/7) malam.

Bagaimana pendapat Anda tentang semarak Ramadan di televisi nasional?

Tradisi televisi menyajikan acara Ramadan memang ada jauh sebelum
munculnya berbagai acara di televisi sekarang. Apalagi dengan adanya
layanan TV kabel, Alif TV, streaming, dan lainnya. Saya sudah tidak
mengikuti berapa jumlah saluran untuk televisi nasional kita saat ini.

Dari dulu, ketika memasuki Ramadan, televisi membuat acara berkaitan
dengan bukan puasa. Ini juga berkaitan dengan iklan. Biasanya ada
tawaran khusus iklan Ramadan untuk menunjang program-program itu.

Saya pernah punya pengalaman bikin rumah produksi terus mau menjual
program-program Ramadan menurut saya berkualitas. Saya ingin program
Ramadan memihak rakyat kecil. Gagasan itu sudah dibuat dalam beberapa
contoh dengan iringan musik gaya tegalan (Tegal, Jawa Tengah). Terus
artisnya orang lokal dari Tegal dengan bahasa rakyat, membahas
tema-tema keagamaan memihak rakyat.

Acaranya tidak sekadar menghibur tapi juga ingin menampilkan agama
memihak orang kecil. Bukan agama dilandasi ideologi kapitalis
membenarkan penindasan. Itu sudah dibuat dan kita tawarkan. Tapi
ternyata ada syaratnya, kami harus bisa menggaet iklan miliaran rupiah
untuk satu jam tayang. Nominalnya sangat berat dan akhirnya gagal.
Saya heran kenapa stasiun televisi tidak menyediakan iklan. Sementara
ada ustad sekadar ramai-ramai begitu saja di bulan Ramadan dan tidak
diharuskan menyiapkan iklan.

Saya tidak tahu belakangan ini ada teman-teman dari kelompok Denny JA
menampilkan wajah Islam moderat. Dalam acara televisi dengan biaya
sendiri dan dijual ke televisi. Saya tidak tahu apakah itu berhasil
apa tidak. Tapi ada kecenderungan acara-acara Ramadan bermutu tidak
lolos untuk televisi.

Apa kelemahan acara-acara itu sampai tidak lolos?

Konten itu berkaitan komunikatornya. Umumnya penekanannya pada konten
seperti acara ustad Quraisy Shihab. Dari segi konten bermutu dan
mencerahkan. Tapi acara selain itu sekadar pengisi waktu saja.

Acara Ramadan di televisi tidak hanya menghibur tapi melahirkan para
ustad dan ustazah?

Iya benar. Saya dulu pernah menulis, kalau tidak salah di majalah
Tempo. Dulu seseorang itu disebut ustad atau kiai dengan beberapa
persyaratan. Pertama, dia punya pesantren. Kedua, dia punya jamaah
khusus dibina. Ketiga, dia memang memiliki pengetahuan mendalam
tentang agama. Yang diukur antara lain pengetahuan bahasa Arab. Jadi
yang memenuhi kriteria itu, misal Ustad Quraisy Shihab, dia bisa
berbahasa Arab. Dia punya lembaga pendidikan Alquran diasuhnya, selain
itu juga di UIN Jakarta. Dia punya jamaah khusus, ada pesantren dengan
santrinya.

Tapi itu dulu, namun karena komersialisasi televisi seperti disinggung
tadi, maka lahirlah ustad-ustad tipe baru. Pertama, ustad tipe baru
itu tidak perlu menguasai bahasa Arab, tidak perlu paham banget agama,
bisa menyasar pendengar-pendengar atau penonton. Kedua, bisa
menghibur. Ketiga, jamaahnya adalah fans di televisi. Karena berbasis
fans itu, tidak diperlukan pengajaran membutuhkan semacam kurikulum.
Mestinya orang mengaji di televisi memperoleh kemajuan dan pengetahuan
agamanya dari waktu ke waktu itu.

Gejalanya saat ini, ustad di televisi juga menjadi tempat curhat.
Sampai kalau tidak salah dijadikan kata kunci untuk penonton
menelepon. Seperti ada kata curhat dalam acara Mamah Dedeh. Kadang
orang bertanya itu dijadikan kekuatan untuk menghadapi lawannya. Suatu
ketika saya nonton seorang istri mengadukan suaminya. Dengan harapan
suaminya ikut menonton dan mendengar, dia punya senjata untuk itu.
Pertanyaanya, “Gimana kalau ada suami seperti ini dan itu.”

Ini satu hal baru dalam dunia dakwah, ustad menjadi tempat curhat
sekaligus konsultan. Biasanya nasihat ustad dan ustazahnya sederhana
dan tidak praktis, yang penting menghibur. Saya pernah mendengar
pertanyaan dalam acara pengajian di televisi, “Saya ini terbelit
utang padahal saya sudah puasa Senin dan Kamis. Saya sudah salat
malam, tapi tetap saja terbelit hutang.” Kemudian nasihat
ustadzahnya, “Iya kalau gitu jualan pisang, terus jualan ke
tetangga-tetangga kan banyak macam-macamnya bisa kita lakukan.” Nah,
menurut saya, itu tidak menyelesaikan masalah, mungkin dia sudah
jualan dan tidak laku. Terlalu enteng jawabannya.

Apa ini kelemahan ulama saat ini dalam mengikuti pola zaman dan trik berdakwah?

Saya kira tidak. Ini karena komersialisasi media elektronik. Salah
satu ciri dari media elektronik adalah komersialisasi budaya.
Kebudayaan itu kita bagi dua, budaya tinggi dan budaya populer.
Misalkan musik Beethoven, Mozart, itu budaya tinggi atau pembicaraan
intelektual juga. Tetapi ustad zaman dulu ketika mereka dalam tataran
ustad mereka dalam tataran budaya tinggi, bisa mengkaji agama, seperti
Ustad Quraish Shihab. Betul-betul didasarkan pada dasar ilmu
pengetahuan mendalam. Dia guru besar bidang tafsir dan membahas tafsir
Alquran. Sekarang kan tidak usah ada pendidikan akademis untuk menjadi
ustad di televisi.

Saya pernah mendengar keluhan dari orang-orang susah payah belajar
agama di Mesir. Pulang ke Indonesia, posisi mereka tersisihkan oleh
ustad-ustad di televisi itu. Bukan karena mereka tidak punya trik-trik
berdakwah menyesuaikan perkembangan zaman. Mereka tersisih oleh budaya
pop. Budaya pop itu ditandai pendangkalan tema-tema dakwah, berubah
dai informasi menjadi entertainment. Bahkan lebih banyak hiburannya
ketimbang informasinya. Selain itu, media elektronik tidak bisa tidak
akan melakukan komersialisasi budaya. Jadi pertimbangannya segi-segi
komersil. Waktu dalam media elektronik itu sangat cepat dan mahal. Itu
dihitung dengan detik dan bayarannya per detik. Jadi pertimbangannya
komersial itu sangat penting karena itu dakwahnya harus komersial dan
cepat.

Ustad populer itu yang menggunakan budaya pop. Pendangkalan informasi,
tidak muluk-muluk, bahkan tidak jelas juga apa yang dibicarakan, dan
menggunakan jingle-jingle tersendiri, seperti, jamaah..... Tiap ustad
mengembangkan jingle sendiri sebagai merek. Sama seperti teknik
pemasaran. Kita lihat para dai sekarang punya manajer dan lulusan
Mesir tidak punya itu.

Apakah hal ini hanya terjadi di Indonesia?

Gejala ini hanya saya lihat di Indonesia. Televisi Mesir menampilkan
ustad beneran. Artinya orang-orang paham agama seperti lulusan dari Al
Azhar (Universitas Al Azhar, Kairo). Tidak pernah muncul
mubalig-mubalig lawak. Di malaysia, juga saya lihat tidak muncul
mubalig-mubalig seperti itu. Di Malaysia yang muncul di televisi itu
benar-benar dididik menjadi ustad.

Di Iran lucu. Di sana ada mubalig terkenal, Qiroati namanya. Dia juga
seorang ayatullah. Tapi dia menyenangkan dalam pembicaraannya. Artinya
menghibur juga. Jadi mirip-mirip Zainuddin MZ. Zainuddin berbeda
dengan ustad-ustad sekarang ini, latar belakangnya pesantren dan
materi ceramahnya ada isinya. Walau dia cukup menghibur tapi materi
tidak terlalu dangkal.

Qiroati itu lulusan pesantren. Tapi dia punya prinsip bicara di
televisi. Dia pernah memberikan nasihat, “Kalau kalian bicara lima
menit dan orang tidak tertawa, hentikan pembicaraan itu. Tapi jika
kamu bicara setiap lima menit dan bisa membuat orang tertawa teruskan
saja sampai kapan pun.” Maksudnya, dia memasukkan unsur humor itu
sebagai hiburan. Tapi hiburan itu tidak menjadi inti, hanya strategi
supaya orang betah mendengarkan. Kalau orang mendengar Qiroati,
pendengar itu membawa catatan. Kalau mengikuti pengajiannya sekian
kali, pengetahuannya itu bertambah karena selalu ada hal-hal baru. Ada
pelajarannya, dia punya kurikulum.

Jadi kalau ada penonton sudah mengikuti selama satu tahun
berturut-turut, pengetahuannya berbeda dengan yang ikut belakangan. Di
Indonesia tidak, kita ikut ustad di televisi yang sama, 2-3 tahun,
pengetahuan kita itu-itu saja. Dari sini saya menemukan ada efek atap.
Misal pengetahuan ustad itu sampai atap, para pendengar akan menyusul
sampai pendengar itu sama pengetahuannya dengan ustad itu. Setelah itu
akan berhenti sehingga pendengar sudah tahu kapan ustad itu akan
bicara ini, humornya akan bisa ditebak, dan kadang bisa menebak pada
bagian mana mereka harus tertawa. Sudah jadi satu paket, tidak ada
yang baru.

Tapi kita senang itu, seperti halnya kita suka sebuah lagu, kita suka
mengulang untuk mendengarkan. Walau kita sudah tahu ujungnya, tapi
senang. Begitu juga pemirsa mendengar ceramah para ustad itu, sudah
tahu yang akan dibicarakan, bakal ke sana arahnya, tapi tetap saja di
dengar, tetap saja senang. Itu kita sebut budaya pop.

Apakah ini hanya tren atau kalau tidak ada yang protes akan berjalan
seperti itu terus?

Pertama , di Indonesia itu tidak ada organisasi bisa kita sebut
sebagai pemantau media. Media itu hampir tidak ada kontrol kecuali
kontrol komersial. Hanya kontrol keuntungan, lainnya tidak ada. Dulu
masih mendingan ada Departemen Penerangan. Sekarang sebagai institusi
pemerintah, Kementerian Informatika lebih sibuk dengan masalah
perizinan ketimbang memperhatikan konten. Mestinya sekarang ada suatu
gerakan sosial. Tapi gerakan sosial itu juga mendukung munculnya
budaya pop itu karena mubalig sudah muncul di televisi akan populer di
tengah masyarakat.

Dalam kebudayaan modern, terutama pengaruh televisi, seseorang memilih
produk karena orang mengenal produk itu bukan karena kualitasnya. Sama
halnya dengan iklan menggunakan faktor-faktor pengulangan. Repetisi
dalam iklan itu hanya untuk memperkenalkan saja.

Mubalig itu seringnya muncul di televisi akhirnya dia dikenal oleh
orang. Di masyarakat pun mubalig-mubalig itu populer bukan karena
isinya, tapi lantaran sering muncul. Misal kalau ada pengajian di
suatu tempat dan menyebut Mamah Dedeh sebagai pembicaranya, ibu-ibu
akan berdatangan menghadiri itu. Bukan karena kualitasnya, tapi karena
dikenal. Salah satu ciri dari televisi itu, dia datang ke rumah kita,
dia bersama dalam ruang-ruang pribadi kita. Jadi seakan-akan yang
sering muncul di televisi dia adalah bagian dari keluarga kita. Jadi
ketika mubalig itu sering muncul di televisi orang kebanyakan akan
menganggap, “Saya merasa kenal betul dengan orang itu.”

Dari yang saya dengar, honor mubalig televisi naik lebih tinggi dari
ustad-ustad biasa. Harganya tinggi. Itu benar-benar diatur oleh
prinsip pemasaran, prinsip media elektronik bersifat komersial.

Tapi masyarakat mau mengundang dan membayar mahal?

Iya karena pengaruh pemasaran itu tadi.

Mungkin kritik saya ini iri karena tak mampu. Mungkin juga ustad-ustad
lulusan Mesir itu akan melancarkan kritik seperti saya karena tidak
mampu bersaing dalam pasaran media. Namun, orang-orang yang
pengetahuan agamanya ada biasanya tidak akan tertarik dengan
acara-acara semacam itu.

Bagaimana dengan media sering mengatasnamakan awam dan rating untuk
setiap acaranya?

Media mendefinisikan sendiri makna awam itu sekehendak dia. Jadi
akhirnya, efek dari media adalah pembentuk tren. Jadi dia ikut
menentukan tren. Agama seperti ini akan diminati oleh orang awam.
Padahal selera orang awam juga dia yang mengatur. Sekiranya dia
meningkatkan seleranya, selera awam juga akan meningkat.

Dalam dunia komunikasi memang menjadi problem antara siaran publik
untuk mencerahkan dan mendidik massa dengan siaran komersial dan dalam
persaingannya siaran publik selalu kalah dengan siaran komersial.
Sehingga kalau di Inggris, kelompok-kelompok masyarakat dengan bantuan
negara membikin siaran publik. Misal BBC, tidak tunduk pada
pengendalian perusahaan iklan. Di Amerika juga demikian untuk
penyiaran publiknya, ada kerja sama antara masyarakat dan negara.

Kita punya TVRI tapi kayaknya tidak dapat dukungan dari masyarakat.
Menurut saya, ulama yang perhatian dengan media televisi itu
bersama-sama membuat gerakan sosial. Sehingga yang muncul di televisi
itu secara selektif menampilkan orang-orang berkualitas. Sampai
sekarang saya juga bingung, mengapa hal ini hanya terjadi di
Indonesia. (http://www.merdeka.com)

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...